Senin, 26 April 2010

Dr. Dhani Herdiwijaya, Kepala Observatorium Bosscha : Astronomi itu Mengasyikkan
Rameli Agam

ALAM semesta memiliki dimensi sangat luas. Sebagai tolok ukur batas kemampuan akal dan teknologi, alam semesta menjadi cerminan kehidupan manusia sejak dulu, kini, dan masa mendatang. Kehidupan sosial manusia tercermin melalui pergerakan benda-benda langit, seperti adanya kecenderungan berkelompok, berpasangan, termasuk kelahiran dan kematian.

Para ilmuwan terdahulu seperti Aristoteles, Plato, Copernicus, dan lainnya, menggambarkan alam semesta sebatas pemikiran yang berkembang pada zamannya. Tentu, alam semesta yang kita pahami jauh berbeda antara dulu dan sekarang serta masa yang akan datang. Semuanya terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan pemahaman kita tentang alam semesta, juga disertai pula perspektif bagaimana kita memandangnya.

Demikian dikatakan oleh Kepala Observatorium Bosscha, Dr. Dhani Herdiwijaya, saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, pemahaman tentang alam semesta sudah masuk ke dalam kehidupan budaya manusia sejak zaman dulu. Benda-benda langit seperti Matahari, Bulan, dan bintang, selalu dijadikan simbol-simbol kepercayaan mereka. Demikian pula saat mereka mendirikan sebuah bangunan, misalnya piramid di Mesir atau bangunan lainnya yang didirikan oleh suku Maya kuno, selalu mengacu kepada pergerakan benda langit.

"Itu menjadi bukti adanya keterkaitan yang erat antara alam semesta dengan kehidupan budaya manusia. Mereka sebenarnya pengamat yang baik. Untuk melakukan pengamatan dan perhitungan tersebut, perlu waktu yang lama, bahkan sampai bertahun-tahun," kata Dhani.

Contoh lainnya tentang keterkaitan kehidupan budaya manusia dan alam semesta adalah penentuan untuk navigasi dan waktu bercocok tanam. Sementara pada zaman modern, keberadaan benda-benda langit senantiasa dijadikan patokan bagi pergerakan satelit, acuan waktu, geodesi, penentuan posisi baik itu posisi di Bumi maupun posisi di langit.

Pergerakan satelit sudah pasti menggunakan bintang (gyroskop) sebagai acuannya. Juga untuk referensi waktu, selain memakai jam atom, pergerakan semua benda langit menjadi acuan dalam penentuan waktu, serta banyak lagi yang dapat dijadikan acuan dari pergerakan benda langit. "Pada prinsipnya, astronomi tidak terlepas dan terkait erat dengan perilaku kebudayaan manusia," ujarnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam astronomi ada istilah astrobiologi, yakni menyelidiki dan mempelajari sejauhmana kehidupan di alam semesta. Misalnya menyelidiki makhluk hidup yang berada pada keadaan sangat ekstrem, seperti dalam suhu dan radiasi sangat tinggi. Dalam keadaan demikian, masih ada kehidupan. Juga ada istilah arkeoastronomi, yang menyelidiki dan mempelajari pergerakan segenap benda langit. Di organisasi International Astronomical Union (IAU), terdapat divisi khusus untuk riset astrobiologi dan arkeoastronomi, serta divisi lainnya.

Menyinggung tentang berbagai fenomena yang ada di alam semesta, menurut Dhani, proses untuk melihat, menganalisis, dan mencari tahu apa yang bisa didapat dari benda langit, merupakan hal yang sangat menarik. Sebagai contoh, ketika meneliti Matahari, dengan komposisi gas yang sangat panas dengan suhu permukaan 6.000 o C dan suhu intinya mencapai 15 juta o C.

Hingga saat ini, banyak yang belum diketahui mengenai Matahari, seperti mengapa kondisinya seperti sekarang, termasuk "perilakunya" yang selalu berdenyut dengan periode tertentu, seperti jantung manusia. Demikian pula dengan sebab-sebab terjadinya flare atau ledakan Matahari, masih belum terungkap. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para ahli terus melakukan penelitian dengan cara mempelajari gerak sunspot atau bintik Matahari. "Gerak sunspot dan flare sangat erat kaitannya. Ukuran sunspot bisa sepuluh kali lebih besar dari ukuran Bumi," tutur Dhani, yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dari fenomena bintang, kata Dhani, manusia bisa mengukur berat, suhu, dan susunan kimianya. Keberadaan Bintang pun dapat diketahui umurnya, apakah masih muda, sudah tua, baru lahir, atau sudah mati. "Proses-proses untuk melihat dan melakukan analisis benda langit itulah yang menjadikan dunia astronomi begitu sangat menarik," tambah Dhani.

Dhani berpendapat, dunia astronomi mempunyai ciri khas yakni multidisiplin dan internasional (borderless). Perkembangannya selalu berkaitan erat dengan disiplin ilmu lainnya. Misalnya untuk membangun sebuah observatorium, dibutuhkan peran ilmu teknik sipil. Demikian pula dengan ilmu fisika, matematika, elektronika, dan lainnya, sangat dibutuhkan. Sedangkan hubungan dengan dunia internasional, segenap data penelitian yang dihasilkan dapat dipakai oleh negara lain atau sebaliknya. "Kerja sama program dan riset yang dilakukan menembus batas lintas negara," ucapnya.

Mengenai perkembangan dunia astronomi di Indonesia, ayah dari dua anak ini mengatakan, sejak Observatorium Bosscha mulai dirintis keberadaannya tahun 1923 dan diresmikan tahun 1928, observatorium ini telah menghasilkan jurnal pada tahun 1933. Sebelumnya, observatorium yang berlokasi di Lembang, Kab. Bandung ini, merupakan titik penting dalam penentuan koordinat Bumi bagian selatan. Seiring perjalanannya yang melewati berbagai rentang masa, kegiatan penelitian dan pendidikan terus berlanjut, memberikan kontribusinya dan melahirkan sejumlah astronom.

Selain itu, instrumentasinya pun terus berkembang dan serta teleskop semakin lengkap. Instrumen semakin canggih dan sekarang ini memasuki era digital serta teknologi informasi. "Tren ini akan diterapkan dalam pengamatan dan analisis sehingga Observatorium Bosscha tidak akan tertinggal jauh. Bosscha akan punya spesifikasi riset, yang menjadi pelengkap dari riset yang dilakukan di seluruh dunia," kata Dhani.

Dalam tiga tahun ke depan, langkah-langkah yang akan dilakukan di antaranya memaksimalkan pemanfaatan instrumen dan teleskop yang ada. Semua sistem yang ada di-set up atau dilengkapi. Secara paralel, juga masih banyak riset yang akan dilakukan.

Dengan menggunakan fotometri, dilakukan pengamatan Bintang Ganda dan Bintang Variabel (bintang yang berubah-ubah cahayanya), mempelajari komposisi kimia dan umur bintang melalui spektroskopi, serta pengolahan citra guna mempelajari pergerakan objek langit (astrometri). "Gabungan fotometri dan spektroskopi untuk mengetahui adanya badai di Mars, menentukan kedalaman atmosfer di planet dan lain-lain. Riset-riset tersebut dapat terus berkembang hingga 5-10 tahun ke depan," imbuhnya.

**

DHANI Herdiwijaya dilahirkan di Semarang, 26 Februari 1963. Menyelesaikan sarjananya di Jurusan Astronomi ITB tahun 1988. Kemudian melanjutkan program S-2 di Kyoto University, Jepang (lulus tahun 1994) dan meraih gelar doktor pada universitas yang sama tahun 1997. Disertasinya berjudul "Study of Individual Sunspot Proper Motion", merupakan sebuah studi tentang gerak sunspot. Tergabung sebagai anggota dalam organisasi International Astronomical Union (IAU), Astronomical Society of Japan, dan anggota Himpunan Astronom Indonesia.

Ketertarikannya pada dunia astronomi mulai tumbuh saat masih sekolah di SMP di Salatiga dan Jepara pertengahan tahun 1970-an. Berawal dari seringnya membaca artikel tentang astronomi dan antariksa, baik di koran maupun majalah. "Artikel-artikel yang ditulis para astronom senior Indonesia itu lalu dikliping hingga beberapa bundel. Saat itu buku-buku tentang astronomi masih sangat jarang, kebanyakan berbahasa Inggris. Kalau pengamatan keadaan langit, setiap sore saya suka melihat sunset di Pantai Kartini, Jepara," tutur Dhani mengenang masa lalunya.

Tentang apresiasi masyarakat terhadap dunia astronomi, menurut Dhani animonya cukup tinggi. Hal itu terbukti dengan semakin tingginya jumlah angka kunjungan dari tahun ke tahun ke Observatorium Bosscha, atau juga yang berkunjung ke Planetarium Jakarta. Namun di sisi lain, pendalaman pengetahuan mengenai ilmu astronomi harus lebih ditingkatkan. Hal ini tentunya memerlukan proses pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA, yang dirasakan masih sangat kurang, terutama para gurunya dan pada tingkatan selanjutnya. "Langkah yang harus dilakukan adalah mengadakan kerja sama dengan perguruan tinggi atau institusi lainnya. Proses pendalaman itu tidaklah mungkin ditangani sendiri, harus diupayakan dengan dibukanya pusat-pusat astronomi di daerah dan itu memerlukan proses pendidikan," ucapnya.

Dicontohkan oleh Dhani, Jepang sangat menyadari betapa pentingnya pendidikan astronomi. Sebagian besar SMA di Jepang dilengkapi dengan teleskop termasuk kubahnya. "Efeknya, hampir sebagian besar kota-kota dan daerah di Jepang memiliki observatorium atau planetarium," ujarnya.

Itu seImua memang memerlukan strategi jangka panjang. Dimulai dari adanya pemahaman bahwa pendidikan itu sangat penting, termasuk astronomi, dan harus menjadi komitmen semua lapisan masyarakat serta dukungan pemerintah. "Berbagai prestasi yang ditorehkan oleh para pelajar kita dari Klaten, Makassar, Riau, Aceh, Papua dan dari daerah lainnya dengan meraih medali dalam Olimpiade Astronomi menunjukkan, sebetulnya cikal bakal astronomi sudah ada dan bakat-bakat kemampuan mereka dalam hal matematika dan fisika ternyata banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia," kata Dhani Herdiwijaya.

Sumber : ikiran Rakyat (12 Januari 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar